WELCOM TO MY BLOGGER

Monday, 7 July 2025

 










6 Juli 2025 ( 14.01 ) 

Potong rambut ya kamu sayang 💕, 
Cantik bangattttt 🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
Tapi itu kok matanya kayak berair gitu? 
Kenapa? 
Iritasi kah? 
Atau nahan sakit perut karna datang bulan? 
Atau karna efek cahaya kamera aja? 
Dagunya kok besar kali jerawatnya, wkwkwkwkwkw, 

I MISS U 


___________________________________




9 Juli 2025 ( 1.50 ) 
Photo nya nyuri dari tiktok dia, 
Hahahaha



Sunday, 6 July 2025

STRANGER 2


7 Juli 2025 ( 12.08 ) 

Selamat makan siang cantik, 

Makan yang banyak ya, 

Tangannya yang biru kemaren gimana? 

Masih biru kah,? 


7 Juli 2025 ( 15.02 ) 


Seperti bumi menanti hujan pertama:

Kau datang seperti senja,

tak pernah menetap, tapi selalu indah setiap kali muncul.

Dan aku… seperti laut yang diam-diam menyimpan ribuan riak,

menanti sapaan angin yang tak pernah benar-benar tinggal.


Aku tahu, tak semua yang kita jaga akan memilih untuk bertahan.

Seperti burung yang singgah di dahan,

ada saatnya ia terbang,

bukan karena dahan itu kurang kokoh,

tapi karena hatinya terpanggil oleh langit yang lain.


Aku pernah berharap kau menetap,

meski hanya sebentar,

meski hanya sebagai suara yang tenang di ujung malamku.

Namun waktu mengajarkan,

bahwa tak semua rasa bisa memiliki wujud…

dan tak semua cinta harus punya tempat untuk pulang.


Kini aku belajar menjadi matahari:

memberi hangat dari jauh,

tanpa berharap langit akan memelukku kembali.

Aku tetap bersinar,

meski tahu kau tak lagi menengadah untuk melihatku.


Tak apa.

Jika kau bahagia di tempat yang tak ada aku,

maka biarlah aku menjadi tanah yang diam,

tapi mendoakan hujan selalu jatuh dengan lembut ke tempatmu berdiri.


Karena mencintai,

kadang bukan tentang tinggal atau digenggam erat.

Tapi tentang merelakan seseorang berjalan sejauh yang ia mau,

dan tetap mendoakan langkahnya

tanpa pernah mengutuk arah yang ia pilih, 


7 Juli 2025 (20.25 ) 


Selamat malam kesayangan, 

Selamat makan malam ya, 

Selamat bekerja, 

Semangat ya, 

Perut nya gimana halangan ini? 

Sakit kali gak? 

Udah pake koyo thailand nya? 


7 Juli 2025 ( 21.32 ) 

Nite sayang ku, 

Duluan bobo ya, 

Tinggal 4 hari lagi udah bisa nemanin kerja ampe kelar kerjaan nya, 😘

Semangat kerja nya, 

Semoga perutnya g sakit kali ya, 

Nite, love u, miss u, 

Muuaaach buat semua muka nya, 

Muuaaach buat kelek nya, 

Datang ke mimpi ya, 

Assalamu'alaikum


________________________


8 Juli 2025 ( 7.47 ) 

Selamat pagi kesyangan, 

Malasih, udah datang lagi ke mimpi ya tadi malam 😘😘😘😘

Walau pun cuman marah2 g jelas, 

Hoby kali marah marah ya, a

Abang sayaaaang kali ama adek, 


8 Juli 2025 ( 12.33 ) 

Selamat makan siang cantik, 

Makan yang banyak ya, 

Gimana hari ke 2 halangannya? 

Aman kah? 


8 Juli 2025 ( 19.48 ) 

Selamat malam istri ku sayang, 

Selamat madi ya, 

Selamat makan malam, 


8 Juli 2025 (22.15) 

Abang bobok dulu ya sayang, 

Datang ke mimpi lagi ya, 

Love u, miss u, 

Muuaaach buat semua mukanya, 

Muuaaach buat keleknya,

Oh ya, abg buat Novel Loh, wkwkwkwk, baru sampai Bab 5 tapi, nanti kalau udah kelar abang tarok link nya ya, yah mana tau suatu saat adek baca ini, dan lihat link nya, dibaca ya novel nya, 

Sengaja abang buat novel nya, biar adek abadi di dalam tulisan abang. 


Ini spoiler isi Novel nya 😅


Daftar Isi 

Bab 1: Pertemuan

Bab 2: Kita

Bab 3: Tentang Senja dan Janji

Bab 4: Aku, Kamu, dan Luka

Bab 5: Rahasia

Bab 6: Retak

Bab 7: Pergi

Bab 8: Diam

Bab 9: Yang Tak Terucap

Bab 10: Tentang Mu

Epilog: Yang Tertinggal


Dah ye, nite Assalamu'alaikum


____________________

9 Juli 2025 ( 7.32 ) 

Morning kesayangan, 

Selamat pagi, 

Muhuaaach buat keningnya, ciummmm yang laaaaaaamaaaa kali, 

Muuaaach buat kelek nya, 


9 Juli 2025 (13.06) 

Selamat siang cantik, 

Selamat makan siang, 

Love y, miss y, 

Muuaaaach, muuaaach, muaaaach


9 Juli 2025 ( 19.20 ) 

Selamat malam sayang, 

Selamat menikmati makan malam ya, 

Semangat kerja nya nanti, 

Love u, miss u


9 Juli 2025 ( 22.28 ) 

Nite, 

Novel nya udah siap ampe Bab 9, dikit lagi kelar, wkwkwkwkw

Abang tidur duluan yo, 

Mimpi indah yo, 

Semangat kerja nya, 

Tinggal 2 kali aja bangun jam 1 malam 🤣


10 Juli 2025 ( 07.54 ) 

Selamat pagi Stranger, 

Selamat menjalankan aktivitas 😘, 

Ini hari ke 4 halangan ya? 

Gak sakit lagi kan? 

Oh ya Novel nya udah siaaaaaaap, 

Wkwkwkwkwk

Mau di cek dulu, ada revisi apa enggak, nanti abang kirim link nya di sini kalau udah fix publikasi yo, 


10 Juli 2025 ( 09.31 ) 

Hy kimbek, 

Abang lihat mama loh, 

Hahahahaa, 

Abang sarapan lontong sayur dekat samping ketoprak, trus mama jalan ke mini market buat beli sarapan, kan ada yang jual sarapan dekat situ, wkwkwkw, mau negur tapi takut di bilang sok kenal, wkwkwkw


10 Juli 2025 ( 10.02 ) 


Hay kamu, 

Sudah sebulan lebih ya kita tidak komunikasi, 

Sehat sehat terus ya kamu, 

Semoga selalu bahagia ya, 

Ini aku kirim link Novel yang aku buat untuk kamu, 

Tentang aku, kamu, yang tidak bisa di panggil "kita" Lagi, 

Aku menulis semua novel ini di semua tempat kenangan kita, tempat dulu kita pernah bersama saat tahun 2009, dan tempat kita pernah bersama juga di 2025,

Terima kasih untuk semuanya, 

Aku bahagia pernah mengenal kamu, 

Kamu satu satunya wanita yang abadi dalam tulisan ku, 


1. https://arceopart.blogspot.com/2025/07/6-juli-2025-14.html


2.https://arceopart.blogspot.com/2025/07/tentang-mu_2.html

___________________________________________

___________________________________________

___________________________________________






Wednesday, 2 July 2025

TENTANG MU

 





TENTANG MU

Sebuah novel Yang aku buat untuk mengenang mu, 

---


"Ada yang datang tanpa pernah dijemput,

lalu pergi tanpa pernah benar-benar pamit."

— Rey


"Jika cinta harus berakhir,

biarlah ia berakhir dalam diam yang penuh makna."

— Rey


Untuk dia,

yang tak lagi bisa kusebut "kita"...

Tapi pernah kuletakkan di seluruh semesta hatiku.


Dan untuk diriku sendiri—

yang tetap bertahan, bahkan ketika tak ada alasan untuk tetap tinggal.



---


Terima kasih untuk setiap luka yang menjadi tinta,

dan setiap kenangan yang menjadi napas cerita ini.

Tanpa mereka, takkan pernah ada Tentang Mu.

---


PROLOG — Yang Tidak Pernah Benar-Benar Pergi


Malam itu dingin.

Bukan karena hujan, bukan pula karena angin, tapi karena ada sesuatu yang hilang dan tidak pernah kembali. Sesuatu yang dulu kupeluk erat, tapi kini hanya hidup dalam ingatan yang perlahan memudar.


Aku duduk di kursi kecil dekat jendela kamarku. Hanya lampu jalan dan sisa cahaya bulan yang menembus kaca, menyinari bayangan diriku sendiri. Di tanganku, sebotol alkohol murah setengah habis, dingin, dan pahit. Aku tak benar-benar menikmatinya. Rasa itu hambar, nyaris tak ada beda dengan semua yang kutelan belakangan ini: kosong.


Ponselku menyala, cahaya layarnya memantul di mataku yang sembab.

Satu foto, satu senyum, satu sosok yang tak pernah benar-benar pergi dari pikiranku.

Dia.

Tersenyum seperti tak pernah ada luka. Tatapannya hangat, jujur, dan damai persis seperti terakhir kali aku memeluknya. Entah kenapa aku masih menyimpannya, walau berkali-kali aku bilang pada diriku sendiri bahwa aku harus berhenti.


“Udah lama ya…” bisikku pelan.

Suaraku hampir tak terdengar. Tak ada yang akan mendengarnya juga, kecuali dinding, gelas kosong, dan sepi yang selalu duduk di sisiku setiap malam.


Lucu, ya. Dulu aku selalu takut kehilangannya.

Sekarang aku sadar, yang lebih menakutkan adalah bertahan setelah kehilangannya.


Aku mencoba melanjutkan hidup. Serius. Aku mencoba. Tapi ternyata… tidak sesederhana itu. Ada hal-hal yang tak bisa ditinggalkan hanya karena waktu berlalu. Ada nama yang tetap tinggal di hati meskipun dunia menyuruhku untuk melupakan.


Kadang aku bertanya pada Tuhan,

“Kalau memang dia bukan untukku, kenapa Tuhan pertemukan kami dengan cara seindah itu?”

Tapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu tak pernah dijawab. Mungkin memang tak perlu. Karena jawaban kadang tidak menyembuhkan hanya menambah luka baru.


Aku tahu, beberapa hal tak akan pernah kembali.

Dan sebagian luka memang tidak perlu disembuhkan, cukup diterima.

Tapi bagaimana caranya menerima sesuatu yang bahkan tidak pernah aku mengerti?

Bagaimana caranya berhenti mencintai seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar pergi dari hatiku?


Yang paling kutakutkan selama ini bukan kehilangan.

Yang paling kutakutkan… adalah melupakan.


Karena jika aku benar-benar melupakannya, maka segala perjuangan, segala tawa, air mata, dan cinta yang pernah kami punya akan hilang begitu saja, seperti tak pernah ada. Dan aku tidak siap untuk itu.


Aku lebih memilih menanggung rindu setiap malam, daripada berpura-pura tidak pernah mengenalnya.

Aku lebih memilih dihantui oleh kenangan, daripada bangun tiap hari tanpa ada dia di ingatanku.

Karena bagaimanapun juga…


Aku masih mencintainya.

Dalam diam, dalam doa, dalam ketidakpastian yang tak pernah selesai.


Dan aku tahu:

Seberapa pun keras aku mencoba, hatiku tetap menyebut satu nama…

dalam doa, dalam tidur, dalam sepi

dia.



________________________________


Daftar Isi 


Bab 1: Pertemuan


Bab 2: Kita


Bab 3: Tentang Senja dan Janji


Bab 4: Aku, Kamu, dan Luka


Bab 5: Rahasia


Bab 6: Retak


Bab 7: Pergi


Bab 8: Diam


Bab 9: Yang Tak Terucap


Bab 10: Tentang Mu


Epilog: Yang Tertinggal



________________________________________


Bab 1: Pertemuan


Kalau hidup ini seperti buku, maka pertemuan adalah halaman yang tak pernah ingin kulipat. Karena di sanalah semuanya bermula bukan dari rencana, bukan dari doa yang kupanjatkan, tapi dari sesuatu yang lebih sunyi: kehadiran yang tak terduga.


Aku tidak sedang mencari cinta. Tidak sedang berharap pada siapa pun. Tapi dia datang.


Namaku Arga. Dan perempuan itu… Lira.


Kami pertama kali saling mengenal lewat layar. Dunia yang dingin dan penuh kebisingan, tapi entah mengapa, cara dia menulis terasa hangat. Tak ada rayuan, tak ada kata cinta, tapi dalam tiap katanya ada sesuatu yang membuatku diam lebih lama dari biasanya.


Dia bukan tipe yang bercerita banyak. Tapi saat ia mulai bicara tentang hal-hal kecil yang ia suka tentang hujan, film yang dia suka, atau tentang artis yang dia suka, "Van Diesel", yah itu artis yang menjadi Favorit nya. 


Malam demi malam, kami bertukar pesan. Tidak intens, tidak penuh emoji. Tapi tulus. Dan mungkin, itu yang paling membuatku bertahan.


Sampai akhirnya, kami sepakat untuk bertemu.


Hari itu aku pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Sempat ragu, sempat cemas. Tapi rasa penasaran jauh lebih kuat. Langit sudah gelap, jalanan ramai kendaraan, dan angin malam membawa aroma aspal yang lembap.


Kami janjian di ujung sebuah jalan kecil, tempat yang tak ramai, tak mewah, tapi cukup terang untuk saling melihat, dan cukup sepi untuk meredakan gugup. Bagi orang lain, itu mungkin hanya belokan perumahan biasa. Tapi buatku… malam itu, tempat itu berubah menjadi awal dari sesuatu yang tak bisa kupahami sepenuhnya tapi ingin kujalani sepenuhnya.


Aku datang lebih dulu. Aku berdiri di bawah lampu jalan yang agak redup, memandangi kendaraan berlalu-lalang, sesekali melihat layar ponsel, dan berkali-kali menarik napas dalam.


Tanganku dingin. Jantungku tak tenang. Bukan karena takut ditolak. Tapi karena tak tahu harus seperti apa bersikap saat seseorang yang begitu lama terasa dekat... akhirnya benar-benar nyata.


Lalu, dia datang.


Langkahnya pelan, tenang, dan tak ragu. Kaos putih sederhana membalut tubuhnya, dipadukan dengan celana pendek warna gelap. Rambutnya dibiarkan terurai, dan matanya menatap lurus ke depan mencari seseorang yang mungkin juga sedang gugup menunggunya.


Aku tahu itu dia, bahkan sebelum dia menyapaku.


"Lira?" tanyaku pelan.


Dia berhenti sejenak, menatapku, lalu tersenyum.

"Arga?"


Aku mengangguk. Senyumku gugup. Kami tertawa kecil canggung tapi hangat. Tak ada pelukan, tak ada jabat tangan. Tapi malam itu sudah cukup untuk memecah batas yang selama ini hanya ada di balik layar.


Tanpa banyak kata, Lira naik motor. Lira duduk di belakangku. Tidak saling bicara, hanya membiarkan angin malam mengisi kekosongan yang justru terasa nyaman. Jalanan lengang. Lampu-lampu kota memantul di kaca helm, dan suara mesin motor seperti detak yang menuntun kami.


Aku tidak bertanya dia ingin ke mana. Dan dia pun tidak memberi arah. Kami hanya berputar, melaju tanpa tujuan, menyusuri jalan-jalan kota yang asing tapi tenang. Setiap kali kami melewati taman, jembatan, atau warung yang masih buka, aku sempat berpikir untuk berhenti. Tapi rasanya... lebih baik tetap berjalan.


Yang kami tahu, kami sedang bersama. Dan malam terlalu tenang untuk dihentikan.


Sesekali aku menoleh ke belakang. Melihat dia tersenyum, duduk tegak. Aku tak tahu apakah dia nyaman atau justru bingung. Tapi saat mataku bertemu matanya di kaca spion, dia tersenyum kecil lagi. Dan itu cukup membuatku tenang.


Kami terus melaju sampai malam makin larut. Hingga akhirnya, aku perlahan memperlambat motor dan berhenti di ujung jalan perumahan. Di sana ada ayunan kecil, besi tua yang catnya sudah mengelupas, berdiri sendirian di pojok taman kecil yang sepi. Tak ada anak-anak. Tak ada suara. Hanya lampu jalan yang menggantung redup, dan suara jangkrik dari semak-semak.


Kami turun. Tak ada pertanyaan kenapa berhenti di situ. Kami hanya tahu... ini saatnya berhenti.


Lira duduk lebih dulu di ayunan. Aku menyusul, duduk di sebelahnya. Kami tak saling pandang. Hanya duduk menghadap ke depan, membiarkan ayunan bergoyang pelan diiringi angin malam.


Waktu berlalu begitu saja. Tidak ada pembahasan penting. Tidak ada percakapan berisi harapan atau masa depan. Tapi keheningan itu terasa utuh. Tidak kosong. Justru seperti sedang membaca satu sama lain… tanpa suara.


Setelah beberapa menit, aku membuka suara, pelan,


 “Senang akhirnya bisa ketemu adek.”


Lira menoleh sebentar, tersenyum tipis.

Lalu ia menjawab,


“Iya, adek juga. Ternyata abang nggak seseram yang adek kira.”


Aku tertawa kecil. Dia juga. Tak ada yang kami lanjutkan setelah itu. Tapi rasanya... cukup.


Malam itu, tidak ada pelukan. Tidak ada genggaman tangan. Tapi perasaan itu tumbuh diam-diam seperti akar kecil yang menyelinap masuk ke tanah basah. Tak terlihat, tapi pasti.


Dan Lira, sejak malam itu adalah awal dari sesuatu yang tak bisa kujelaskan, tapi tak pernah ingin kulepaskan. 



Bab 2: Kita


Waktu berjalan pelan sejak malam pertama mereka bertemu. Tak ada yang berubah secara besar-besaran. Kota masih sama, langit tetap gelap di malam hari, dan suara motor masih memenuhi jalanan setiap sore. Tapi dalam hati Arga, ada satu hal yang tumbuh pelan diam-diam, tapi pasti: Lira.


Sampai malam itu datang.


Tempat itu begitu ramai. Lampu warna-warni berkelap-kelip seperti bintang jatuh. Anak-anak berlarian mengejar balon, orang tua berdesakan membeli jagung bakar. 


“Naik itu yuk,” kata Arga, menunjuk bianglala yang berputar perlahan di kejauhan.


Lira melirik ke atas.

“Adek takut tinggi…”


“Kalau sama abang, jangan takut,” sahutnya sambil tersenyum.


Setelah sedikit tarik-ulur, akhirnya mereka naik. Duduk berdampingan di kursi besi yang menggantung. Saat roda mulai berputar, Lira menggenggam erat sisi kursi, wajahnya tegang tapi tetap berusaha tersenyum.


Angin malam menyapu wajah mereka. Suara riuh di bawah perlahan memudar saat mereka makin tinggi. Lira menutup mata.


“Adek masih takut?”


“Lumayan,” jawabnya lirih. “Tapi tenang, karena abang di sini.”


Di titik paling tinggi, bianglala berhenti sesaat. Langit di atas gelap, tapi cahaya dari kota di bawah tampak seperti permadani lampu yang menyala lembut. Saat itulah Arga menoleh ke arah Lira, yang kini mulai membuka mata pelan-pelan.


“Lira…” panggilnya.


“Iya, Bang?”


Arga menarik napas dalam-dalam, lalu mengatakannya perlahan tapi pasti:


“Abang sayang adek.”


Lira menatapnya, diam. Matanya tak berkedip.


“Abang suka semua tentang adek.”


Lira menunduk, menggigit bibir, lalu berkata pelan,


“Adek juga suka abang… Tapi adek takut. Kalau nanti abang berubah, atau adek yang salah.”

Arga menggenggam tangan Lira yang dingin.

“Kalau adek berubah, abang tetap tinggal. Kalau abang salah, abang mau belajar. Yang penting adek percaya dulu bahwa abang nggak akan ninggalin begitu aja.”


Lira terdiam cukup lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil dan berkata,


“Kalau gitu… kita coba, ya Bang.”


Bianglala mulai bergerak turun perlahan. Tapi di dada mereka, rasa itu justru baru saja naik ke tempat tertinggi.


Dan sejak malam itu, Arga dan Lira tidak lagi sekadar dua orang yang saling kenal. Mereka menjadi kita yang berjalan pelan, tapi pasti. Bukan karena tak ada ragu. Tapi karena ada cinta yang diawali dengan keberanian untuk jujur.


Setiap malam minggu, mereka mulai punya kebiasaan kecil. Naik motor tanpa arah, berhenti di taman yang itu-itu saja, atau duduk di minimarket sambil minum susu kedelai dan makan gorengan. Lira sering diam. Tapi saat bicara, ia membawa cerita-cerita yang membuat Arga mendengar tanpa ingin menyela.


Tentang rumahnya, tentang orangtuanya, tentang rasa kecewa yang ia simpan bertahun-tahun. Tentang sahabat-sahabat yang kini menjauh. Tentang rasa sepi yang tidak pernah benar-benar bisa ia bilang ke siapa-siapa.


Dan Arga... hanya duduk di samping, menyimak. Kadang menjawab pendek, kadang cuma mengangguk. Tapi dia selalu hadir.


“Kalau adek cerita terus, abang bosen nggak?” tanya Lira suatu malam.


“Nggak. Abang suka,” jawabnya singkat.


“Suka yang mana? Cerita adek, atau adek-nya?”


Arga tersenyum, tapi tidak menjawab saat itu. Ia simpan kalimatnya. Belum saatnya. Belum.



Bab 3: Tentang Senja dan Janji


di bawah langit yang tahu segalanya

Malam mulai menjatuhkan sunyinya saat motor Arga dan Lira perlahan mendaki jalan beraspal menuju bukit kecil di pinggiran kota. Jalanan itu sepi. Hanya satu-dua lampu rumah yang sudah padam di kejauhan. Selebihnya adalah gelap dan angin. Tapi justru di sanalah hati mereka merasa aman—di tempat-tempat yang tak banyak suara, tak banyak orang, dan tak banyak gangguan.


Lira duduk di belakang Arga, memeluk dari leher. Kepalanya menempel erat di punggung Arga, seolah ia takut sesuatu dari dalam dirinya akan jatuh dan pecah kalau tak ada siapa-siapa yang menjaga.


Sesampainya di atas bukit, motor berhenti di ujung. Tidak ada percakapan. Tidak ada rencana. Hanya keheningan, dan seolah tubuh mereka tahu apa yang harus dilakukan.


Arga turun lebih dulu, lalu merebahkan tubuhnya begitu saja di atas aspal yang masih menyimpan sisa kehangatan siang. Tidak ada alas, tidak ada sandaran. Dunia di atas sana jadi satu-satunya atap.


Lira menyusul. Ia duduk diam, menatap langit. Lama. Lalu akhirnya ikut rebah di samping Arga, dan menyandarkan kepalanya pelan-pelan di dada lelaki itu. Napasnya berat, tapi tak tergesa. Tangan kirinya menggenggam sisi kaus Arga, seolah memastikan bahwa kehadiran itu nyata, dan belum akan pergi.


Di atas mereka, langit terbentang luas, tenang dan penuh bintang. Tapi bintang malam ini seperti tidak terlalu terang. Atau mungkin, keduanya memang sedang tidak ingin melihat terlalu jauh. Mereka hanya butuh satu hal malam itu: tempat untuk diam.


Beberapa menit berlalu. Lalu akhirnya, Lira bicara.

Pelan. Patah-patah. Tapi cukup jelas untuk membuat dada siapa pun ikut mengencang.


Ia tidak bercerita utuh. Tidak menyebut nama, waktu, atau peristiwa secara lengkap. Tapi Arga tahu, dari cara ia menarik napas, dari nada suaranya, dan dari hening yang menyusul tiap jeda… cerita itu bukan cerita ringan. Itu adalah luka yang lama. Luka yang mungkin tak pernah selesai.


Lira bicara tentang rasa takut. Tentang kehilangan kepercayaan. Tentang bagaimana hidup bisa begitu sepi meskipun ramai. Dan tentang bagaimana ia mulai berhenti berharap pada siapa pun karena semua orang akhirnya memilih pergi.


Ia tidak menangis dengan keras. Tapi tubuhnya sedikit bergetar, seperti tanah yang perlahan meretak diam-diam.

Dan Arga… tetap diam. Tak menginterupsi. Ia tidak ingin menjadi seseorang yang menjawab, hanya karena merasa harus.


Ketika Lira selesai bicara, ia tetap bersandar. Tak mengangkat kepala. Tapi pertanyaan itu keluar begitu saja, lebih lirih dari angin yang lewat:


“Abang…”


“Hmm?”


“Setelah semua yang adek bilang tadi… abang masih mau tinggal?”


Arga menatap langit. Lama. Lalu pelan-pelan ia memeluk tubuh Lira lebih erat. Bukan pelukan biasa. Tapi pelukan yang membawa satu makna paling dalam: “Abang dengar semuanya. Abang tetap di sini.”


“Iya, dek. Abang masih mau tinggal.”


"Meski adek nggak sempurna?”


“Nggak ada yang sempurna.”

 

“Adek takut berubah, Bang… suatu hari.”


“Kalau berubah, abang temani. Kalau diam, abang tunggu. Kalau capek, abang jadi tempat baring. Adek nggak sendiri sekarang.”



Lira menutup mata. Tangannya memeluk balik tubuh Arga, seperti seseorang yang akhirnya bisa merelakan beban yang terlalu lama ia pikul sendiri.


Tak ada musik. Tak ada suara-suara indah.

Tapi pelukan mereka lebih dari cukup untuk menyusun sebuah janji.


Bukan janji yang terucap, tapi janji yang tumbuh dari keberanian untuk tidak lari setelah mendengar sesuatu yang gelap.


Malam itu, di bawah langit yang tahu segalanya,

dada Arga menjadi rumah pertama yang Lira percaya tanpa takut diusir, tanpa takut dicela.


Bintang-bintang tetap berada di tempatnya. Tapi malam terasa berbeda.

Karena dua orang yang sama-sama pernah merasa hancur, malam itu… akhirnya memilih untuk tidak saling meninggalkan.

---



Bab 4: Aku, Kamu, dan Luka


Ada rasa yang tidak pernah hilang, bahkan setelah dilukai.

Ada cinta yang tetap bertahan, bahkan setelah dipatahkan.

Dan Arga… menyimpan dua-duanya.


Beberapa hari menjelang ulang tahun Lira, semuanya mulai terasa asing.

Lira masih ada, tapi tak benar-benar hadir.

Pesan-pesan dibalas singkat. Telepon jarang diangkat. Tatapan mata saat bertemu tak lagi sehangat dulu.

Dan senyumnya… kini lebih sering menghindar.


Arga tahu, sesuatu sedang berubah.

Tapi ia tak mau menerka.

Ia hanya percaya, percaya bahwa cinta yang sudah sejauh ini tak akan hilang hanya karena sunyi.


Sampai malam itu tiba.

Malam yang akan membalikkan semua harapan yang pernah ia pegang erat.


---

Hanya iseng, Arga membuka Facebook.

Tapi semesta kadang punya cara kejam untuk membuka mata seseorang.


Sebuah komentar dari akun asing muncul di beranda. Tak dikenal. Tapi foto profilnya… wajah itu sangat familiar.


Wajah Lira.


Namun bukan nama yang biasa. Bukan akun utama yang selama ini mereka pakai untuk saling menyapa dan menandai momen-momen bersama. Ini akun lain—dengan nama palsu, tanpa koneksi pada kehidupannya bersama Arga.

Tapi tidak bisa dibohongi… gaya tulisannya, bahasa tubuh di foto-fotonya, ekspresi wajahnya…

Itu Lira.


Dan Arga membuka satu per satu isi akun itu.

Semakin jauh ia menggulir, semakin perih rasanya.

Karena yang ia temukan bukan hanya postingan biasa, tapi catatan hati.

Catatan tentang perempuan lain.

Bukan Arga. Bukan laki-laki. Tapi seorang wanita dari kota lain yang namanya tak pernah disebut oleh Lira sebelumnya.


Dan kalimat yang membuat dunia Arga runtuh:


“Ulang tahun sebentar lagi...

andai yang hadir malam itu bukan siapa-siapa, tapi kamu...

wanita yang selalu aku pikirkan diam-diam…” tulis Lira. 


Tidak ada yang lebih menyakitkan dari mencintai seseorang yang berharap dicintai oleh orang lain.

Bukan karena pengkhianatan fisik. Tapi karena pengkhianatan rasa.


Lira mungkin masih bersama Arga. Tapi hatinya, pikirannya, rindunya telah diarahkan ke tempat lain.

Dan Arga?

Ia hanya bisa menggenggam hampa.

Karena cinta yang ia jaga dengan sepenuh hati… tak pernah cukup untuk membuat Lira memilih bertahan sepenuhnya.


Malam itu, Arga hanya mengirim satu tangkapan layar.

Tak ada kata.

Tak ada kalimat.

Karena luka yang terlalu dalam, tak bisa dijelaskan. Hanya bisa dirasakan dan disimpan sendiri.


Setelah itu, ia menghilang.

Bukan karena membenci. Tapi karena ingin memberi ruang untuk hancur sendirian.


Pesan Lira dibacanya, tapi tak dibalas.

Panggilan masuk ia lihat, tapi tak ia angkat.

Bukan karena ingin meninggalkan. Tapi karena ia tidak tahu harus bagaimana mencintai seseorang yang tak lagi sepenuhnya miliknya.

---

Hari terus berjalan. Lira terus mencoba menghubungi.

Tapi Arga tetap diam. Ia memilih menjaga dirinya dari luka yang bisa bertambah dalam jika ia terus dekat.

Ia menyepi.

Tapi ia tidak berhenti mencintai.


Hingga malam itu datang.

Tepat pukul dua belas malam.

Tanggal berubah. Ulang tahun Lira resmi dimulai.


Dan entah kenapa malam itu Arga terbangun dari tidurnya.

Hatinya gelisah. Dadanya sesak.

Ia membuka Facebook… dan di sanalah ia melihat status terbaru dari akun utama Lira.


Bukan akun palsu. Bukan diam-diam. Tapi terbuka untuk semua orang.


 “Ulang tahun sendirian di pantai. Tengah malam. Dingin. Tapi mungkin memang lebih baik begini…”


Arga terdiam.

Bibirnya gemetar.

Lira benar-benar di pantai. Sendiri. Tengah malam.


Arga tak bisa menahan dirinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian hari… ia menelepon Lira.


Suara sambungan terdengar beberapa detik.

Lalu…


“Abang…” Suara itu lirih. Lelah. Gemetar.


“Ngapain kamu di sana sendiri?” tanya Arga, suaranya parau.


“...”


“Pantai mana itu?”, lanjut Arga


Lira tidak menjawab.


“Lira… bilang. Abang nyusul sekarang.”


“Gak usah abang tahu… Adek… cuma pengen sendiri…”


Tangis di ujung sana terdengar makin berat.

Tapi Arga tidak membalas dengan amarah. Hanya diam.

Karena yang ia rasakan bukan marah tapi sedih yang tak bisa dijelaskan.


“Maafin adek…” ucap Lira


Hening sesaat. Lalu Arga berkata dengan suara yang nyaris pecah:


“Abang maafin…”




Lira terisak.


“Abang masih sayang sama adek?…” Tanya Lira


Dan Arga pun menjawab, dengan suara yang hampir tidak terdengar:


“Masih,pulang sekarang ya”


“iya,” jawab Lira lirih


Lalu sambungan terputus.


---


Malam itu, Arga tetap duduk di sisi tempat tidurnya.

Menatap jendela. Menatap gelap.

Tidak tahu apakah Lira benar-benar pulang atau hanya berkata begitu agar dirinya tidak menyusul.


Tapi Arga tetap mencintainya.

Tanpa berubah sedikit pun.


Ia tahu hati Lira tidak lagi sepenuhnya untuknya.

Ia tahu Lira menyukai wanita lain.

Ia tahu, bahwa di hari ulang tahunnya, Lira tidak berharap Arga datang tapi wanita itu.


Namun meski tahu semua itu…

Arga tidak pernah berhenti mencintai Lira.


Cintanya tetap utuh.

Tak berubah. Tak surut.

Karena cinta sejati tidak bergantung pada balasan…

Tapi pada ketulusan untuk tetap tinggal, walau tahu mungkin akan terus terluka.


---



Bab 5: Rahasia


Tidak semua luka harus disembuhkan dengan kata.

Kadang cinta memilih tetap berjalan, meski tahu kaki sudah pincang.

Begitulah yang terjadi pada Arga dan Lira.

Setelah semua yang terbuka, mereka tidak membahasnya lagi.


Bukan karena sudah sembuh.

Tapi karena mereka memilih untuk tetap ceria, tetap hangat, tetap seperti biasa.

Seolah tidak ada yang pecah sebelumnya.



Hari-hari setelah malam ulang tahun itu kembali seperti semula.

Arga tetap menjemput Lira setiap pagi.

Mereka masih suka jajan es krim di pinggir jalan.

Masih saling bercanda soal hal-hal sepele.

Masih tertawa bersama.


Dan Arga tidak pernah mengungkit soal status Facebook dari akun lain itu.

Tidak pernah bertanya tentang perempuan yang Lira harapkan hadir di ulang tahunnya.

Ia memilih menyimpan semuanya dalam diam.


Karena bagi Arga, jika diam bisa menjaga senyum Lira… maka ia akan memilih diam sampai akhir.


Tibalah hari ulang tahun Lira. Kali ini bukan di pantai. Bukan dalam gelap.

Tapi di rumahnya sendiri.


Lira mengadakan perayaan kecil, hanya mengundang beberapa teman sekolah lamanya.

Dan tentu, Arga hadir.


Meski banyak wajah asing, Arga tetap tenang. Duduk di sudut ruangan, sesekali tersenyum saat Lira tertawa dengan teman-temannya.

Ia tidak keberatan tak menjadi pusat perhatian.

Karena bagi Arga, cukup melihat Lira bahagia itu sudah cukup jadi hadiah untuk hatinya sendiri.


Acara berlangsung hangat. Ada makanan ringan, kue ulang tahun yang sederhana, dan tawa dari ruang tamu yang penuh obrolan nostalgia.

Dan di sela semua itu, Lira sesekali mencuri pandang ke arah Arga seolah ingin memastikan laki-laki itu masih ada di tempat yang sama… masih setia menunggu meski tak selalu dipanggil.


Saat semua tamu pulang dan rumah mulai kembali tenang,

Arga menghampiri Lira yang sedang duduk di lantai ruang tamu, merapikan bungkus kado.


“Adek…”

Arga duduk di sebelahnya.

“Ada satu kado yang belum abang kasih.”


Lira menoleh dengan mata berbinar. “Apa?”


Arga mengambil kotak kecil dari dalam tasnya.

Kotak beludru biru. Kecil. Ringan.


Lira menerimanya dengan senyum penasaran.

Lalu membukanya perlahan…


Dan di dalamnya, sepasang cincin perak.

Simple. Dengan ukiran nama mereka. Terlihat sangat cocok untuk mereka berdua.


“Cincin…” Lira menatapnya lama. Lalu matanya berkaca. “Ini… couple?”


Arga mengangguk. “Cuma simbol kecil… dari cinta abang yang gak pernah berubah.”


Lira menatap Arga dalam. Lama.

Lalu, seperti anak kecil yang ingin menunjukkan mainan barunya, ia bangkit dan lari kecil ke arah dapur.


“Mama… maaa…” teriaknya.


Dari arah dapur, suara lembut mamanya terdengar, “Apa,?”


Lira mengangkat kotak kecil itu dan menunjukkan isi di dalamnya.


“Hadiah dari Arga…” katanya manja.


Mamanya tersenyum. “Wah, cincin ya?”


Lira menjawab sambil tersipu, tapi dengan suara yang jelas:

“Berarti kita tunangan, dong…”


Arga tersenyum kecil.

Ia tahu itu mungkin hanya lelucon manis…

Tapi dari semua kata yang pernah Lira ucapkan,

itu adalah yang paling membuat jantung Arga berdetak seperti pertama kali jatuh cinta.


Malam itu ditutup dengan senyum.

Cincin tersemat di jari mereka berdua.

Tak ada janji besar, tak ada ikrar tinggi.

Tapi di dalam hati mereka, diam-diam sebuah harapan tumbuh:

semoga besok, kita tetap memilih satu sama lain.


---


Mereka tiba di sebuah hotel kecil di pinggir kota.

Bukan mewah. Tapi bersih, tenang, dan jauh dari kebisingan.


Lira menggenggam tangan Arga erat.

Ada gugup di matanya. Tapi juga ada keyakinan.


“Yakin ke sini?” tanya Arga pelan.


Lira menatapnya. Dalam. Lalu tersenyum tipis.

“Adek ingin hari ini cuma ada kita.

Tanpa siapa-siapa.

Tanpa gangguan.

Tanpa rahasia.”


Dan saat pintu kamar itu tertutup di belakang mereka,

dunia seperti berhenti sebentar.


Hari itu bukan soal waktu,

tapi soal bagaimana mereka mengisinya.


Mereka duduk lama di atas kasur, bercerita tanpa arah.

Tertawa, menggoda, saling mencubit pelan, lalu tertawa lagi.

Lira bersandar di dada Arga, memainkan jari-jarinya.

Dan Arga hanya membelai rambut Lira, seperti menenangkan angin yang sedang bergejolak.


Tak ada yang mereka cari.

Hanya ingin saling ada.


Dan saat sore mulai turun,

saat cahaya dari jendela perlahan meredup,

Arga mencium Lira perlahan.


Bukan ciuman yang terburu-buru.

Bukan nafsu.

Tapi sebuah cara untuk berkata: “Terima kasih telah tetap tinggal.”


Hari itu mereka saling menyentuh,

tapi bukan untuk memiliki melainkan untuk memahami.


Tangan Arga menggenggam wajah Lira dengan penuh kelembutan, seolah berkata:

“Kamu boleh hancur. Tapi selama aku ada, kamu takkan sendirian.”


Dan Lira membalasnya dengan pelukan paling erat,

dengan napas yang pelan,

dengan kehangatan tubuhnya yang ia serahkan sepenuhnya. 

bukan karena kewajiban,

tapi karena percaya.


Di dalam kamar itu, tak ada dendam.

Tak ada sisa air mata dari masa lalu.

Yang ada hanya dua manusia yang saling memilih untuk kembali,

bahkan setelah tahu mereka bisa saja terluka lagi.

---


Malam datang.

Mereka terbaring berdua.

Sunyi.

Tapi bukan karena kehabisan kata melainkan karena sudah tak perlu berkata apa-apa.


Lira membisik di dada Arga:


> “Adek bahagia…”


Dan Arga membalas dengan suara serak:


> “Abang juga…”


Lalu Lira menatap cincin di jari mereka.

Menggenggam tangan Arga erat.


“Hari ini adek ngerasa utuh. Kayak gak ada yang kurang…”


Dan Arga tahu…

hari itu, cinta mereka tak lagi berdiri di atas luka tapi di atas keberanian untuk tetap bersama.


---


Bab 6: Retak


Awalnya hanya perubahan kecil.

Hal-hal sepele yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Tapi Arga merasakannya. Dari nada bicara. Dari cara Lira mengetik. Dari waktu balas pesan yang semakin lama. Dan dari nada bicara di telepon. 

Sesuatu telah berubah.

Bukan karena jarak. Bukan karena kesibukan. Tapi karena hati yang mulai tak sepenuhnya tinggal.


Sore itu, di antara percakapan biasa, Lira berkata:

“Facebook adek yang kedua udah adek hapus kok.”

“Biar gak ada lagi yang ganggu kita…”


Dan Arga percaya.

Seperti selalu, ia percaya. Bukan karena bodoh, tapi karena mencintai tanpa syarat berarti mempercayai bahkan ketika hatimu ragu.

Ia ingin percaya. Ia memilih percaya.


Namun malam-malam yang sepi adalah musuh terburuk dari hati yang mulai curiga.

Dan pada suatu malam, entah kenapa, jari-jari Arga membuka browser. Membuat akun Facebook baru. Memasukkan nama palsu. Mengambil foto profil dari Google photo seorang perempuan asing yang tak akan dikenal siapa-siapa.


Awalnya hanya iseng.

Tapi apa yang ditemukannya... menghancurkan semua sisa keyakinan.


Akun itu masih ada.

Akun yang katanya sudah dihapus itu… masih aktif.

Dan bukan hanya aktif tapi berisi kisah cinta yang baru. Bukan dengan Arga. Tapi dengan orang lain.


Bukan orang yang dulu. Tapi yang baru.

Dan kali ini, lebih dekat dari yang pernah ada.


Perempuan itu adalah adik kelas Lira.

Satu sekolah.

Seseorang yang Arga tahu… pasti sering bertemu dengan Lira setiap hari.


Postingan demi postingan dipenuhi panggilan sayang.

Saling membalas dengan manja.

Ucapan selamat malam.

Panggilan “sayang” yang dulu milik Arga kini dilemparkan untuk orang lain, di depan semua mata.

Dan yang paling menyakitkan: Lira terlihat bahagia.

Tapi Arga… hanya diam.

Ia tak mengatakan apa-apa. Tak mengirim screenshot. Tak menuduh.

Hanya membaca.

Setiap malam.

Dengan mata yang tetap terbuka sampai pagi, menatap layar ponsel yang tak lagi memberi ketenangan.



“Adek lagi apa?”

“Kangen…”

“Udah makan belum?”

Pesan-pesan itu tetap dikirim oleh Arga. Seolah semuanya baik-baik saja. Seolah ia tak tahu apa-apa.


Tapi di balik semua itu, ada luka yang tak ia tunjukkan.

Ia tetap menyayangi Lira. Tetap memanggilnya adek, tetap menjadi tempat pulang, meskipun ia tahu… hatinya sudah tak lagi di sana.


Ada malam-malam di mana Arga memandangi layar ponselnya selama berjam-jam.

Menunggu Lira membalas.

Menunggu Lira bercerita.

Menunggu meski tahu, bahwa mungkin yang ditunggu tak lagi sama.


Namun Arga memilih diam.

Ia menyimpan semuanya sendiri tanpa tanya, tanpa konfrontasi, tanpa marah.

Baginya, jika mencintai berarti mempertahankan, maka ia akan mempertahankan… walau dengan cara yang paling menyakitkan: berpura-pura tak tahu apa-apa.


Hari-hari mereka tetap berjalan seperti biasa.

Seolah tak pernah ada luka.


Mereka masih pergi bersama.

Masih berkeliling kota naik motor saat malam minggu, seperti dulu berdua.

Masih mendengar lagu-lagu favorit yang diputar dari HP Lira, dan Lira masih menyandarkan kepala di bahu Arga saat lampu merah menyala.


Lira tetap memeluk pinggang Arga dari belakang saat mereka menyusuri jalan-jalan kecil kota itu.

Ia masih tertawa saat Lira bercerita tentang sekolah, tentang teman-temannya, tentang hal-hal kecil yang ia temui di hari itu.


Semua tampak normal.

Semua terlihat baik-baik saja.


Tapi hanya Arga yang tahu, bahwa dalam senyum itu… ia menyimpan luka yang terus tumbuh dalam diam.


Setiap malam, setelah mereka berpisah, Arga kembali membuka akun Facebook palsunya.

Membaca postingan Lira dengan perempuan itu.

Melihat komentar mereka.

Dan status-status yang ditulis dengan manja, seolah mereka adalah satu-satunya dunia.


Arga menyaksikan semuanya tanpa bertanya.

Ia menatap nama yang bukan miliknya… tapi menempel di hati seseorang yang ia cintai.


Dan meski hatinya menganga,

Arga tetap memeluk Lira setiap malam minggu.

Tetap mengantar dan menjemput.

Tetap memanggilnya adek.

Tetap mencintainya seperti tak ada apa-apa.



Berminggu-minggu mereka tetap seperti itu.

Pergi berdua.

Tertawa bersama.

Menonton film di Bioskoo.

Berpelukan di bukit mereka sambil menatap langit senja.


Dan tak ada satu pun yang berubah kecuali apa yang dirasakan oleh Arga dalam diam.


Lira tak pernah tahu.

Ia tak pernah sadar, bahwa yang berdiri di sampingnya setiap malam itu… adalah seorang lelaki yang sudah patah, tapi memilih diam demi cinta.


Dan Arga pun tahu:

Cinta yang harus dipertahankan dengan pura-pura, pada akhirnya akan menghancurkan kita dalam diam.


Namun tak ada yang bisa selamanya disembunyikan.

Bahkan senyum yang paling meyakinkan pun akan retak ketika malam terlalu sunyi.

Dan cinta yang terus dibiarkan sendiri akan pelan-pelan mati, walau masih bernyawa.


Hingga pada suatu malam,

Lira benar-benar menghilang.


Tak ada pesan.

Tak ada balasan.

Tak ada tanda ke mana dia pergi.

Dan untuk pertama kalinya, Arga tak tahu harus menunggu atau merelakan.


Ponselnya tetap diam di genggaman, tapi pikirannya tak berhenti bertanya:

“Kenapa?”

“Dengan siapa?”

“Kenapa harus seperti ini?”


Waktu berjalan lambat malam itu.

Dan saat akhirnya notifikasi datang, jawabannya hanyalah:


“Tadi keluar sama temen cewek.”



Arga membaca kalimat itu berulang kali.

Tak tahu apakah harus tersenyum... atau menyerah.


Sederhana. Datar. Dingin.

Dan Arga tahu itu bukan kejujuran.


Tapi untuk ke sekian kalinya, Arga memilih diam.

Bukan karena tak berani bertanya.

Tapi karena ia tahu, pertanyaan tak bisa memaksa hati yang sudah tak tinggal.


Malam itu, Arga tak tidur.


Ia duduk sendiri di kamar.

Memegang ponsel yang tak lagi hangat.

Dan akhirnya menulis:


“Mungkin bukan dia yang menjauh…

Tapi aku yang sudah tak bisa lagi didekati.”


Lalu ia menatap kalimat itu lama.

Seakan kalimat itu adalah satu-satunya kejujuran yang bisa ia peluk malam itu.



---


Retakan tidak selalu datang dalam bentuk bentakan.

Kadang ia datang bersama tawa.

Bersama genggaman tangan yang masih erat.

Bersama pelukan yang masih hangat.

Tapi hati tahu... sesuatu sudah tidak lagi utuh.


Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan,

tapi tetap dipeluk oleh seseorang yang diam-diam sudah pergi.


---


Bab 7: Pergi


Kalau cinta bisa menunggu, apakah luka juga bisa sembuh?


---


Hari itu hujan turun pelan. Langit seperti ikut tenggelam dalam sepi yang sudah berminggu-minggu menghuni dada Arga. Lira masih datang seperti biasa, masih tertawa, masih menyapa dengan pelukan hangat, tapi Arga tahu… sebagian dari dirinya sudah bukan untuknya lagi.


Malam-malam yang dulu diisi candaan kini jadi sunyi. Tak ada lagi pesan panjang Lira yang menceritakan harinya. Tak ada lagi tangisan manja minta diperhatikan. Yang tersisa hanya Arga yang menatap layar ponsel, memeriksa setiap notifikasi dengan harap sia-sia.

Dan tetap seperti itu: kosong.


Sampai akhirnya, hari itu datang. Hari yang tak pernah ingin Arga bayangkan.

Lira datang dengan wajah yang tak bisa disembunyikan lagi: bingung, lelah, dan penuh kebohongan. Tapi Arga tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam.


“Adeek, kamu capek?” tanya Arga lembut, mencoba tetap jadi pelabuhan yang tenang.


“Enggak… cuma pusing dikit,” jawab Lira, menghindari tatapannya.


Padahal malam sebelumnya, Arga membaca status Facebook akun kedua Lira:

"Makasih ya kamu udah dateng, pelukannya bikin tenang."

Bukan untuk Arga. Tapi untuk dia, perempuan yang telah merebut Lira dari nya. 

Arga tak berkata apa-apa.


Ia masih menjemput Lira pulang sekolah, masih memesan minuman kesukaannya, masih mengusap rambutnya saat Lira mulai mengantuk di motor. Tapi semua itu perlahan mulai hampa. Seperti rumah yang tak lagi dihuni hanya penuh kenangan.


Hingga pada suatu pagi, Lira menghilang.


Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Ponsel mati. Teman-temannya pun tak tahu. Hanya satu hal yang membuat Arga tetap terjaga: harapan bahwa Lira masih akan kembali. Tapi hari berganti hari, dan Lira tak kunjung muncul.


Sampai akhirnya, tiga hari kemudian, ponselnya aktif kembali.

Sebuah pesan pendek masuk:


“Maaf ya abang, adek pergi sebentar. Butuh waktu buat sendiri…”


Arga membalas:


 “Adek pergi ke mana?”



Tak dijawab.

Jam berlalu, hari berganti. Lira baru menelepon dua hari kemudian, dengan suara pelan dan terbata.


“Abang maafin adek ya…”


“Maaf untuk apa?” tanya Arga, tetap tenang meski hatinya remuk.


Lira terdiam lama.


“Adek cuma butuh ruang. Gak bisa dijelasin sekarang. Tapi nanti adek cerita, kok…”


“Cerita apa?” bisik Arga, karena ia ingin tahu:

Hatinya… entah masih miliknya atau tidak.


Dan benar. Beberapa hari kemudian Lira kembali. Duduk bersebelahan seperti biasa. Tapi tangan mereka tak lagi saling menggenggam.

Pelukan itu terasa kosong.

Ciuman itu terasa basi.


Beberapa minggu setelah Lira kembali, segalanya seperti berjalan normal setidaknya di mata orang lain. Mereka masih terlihat bersama. Masih ada tawa, masih ada senyum. Tapi Arga tahu, apa yang dulu hangat kini hanya bayangan dari yang pernah mereka miliki.


Setiap kali mereka keluar berdua, naik motor mengelilingi kota kecil itu, angin yang menyentuh wajah Arga tak lagi membawa ketenangan. Ia hanya duduk di atas motor, menyetir pelan, sementara Lira di belakangnya tak lagi menyandarkan kepala seperti dulu.


Terkadang, mereka mampir ke tempat makan biasa. Duduk berseberangan, menikmati ayam goreng dan minuman soda dingin. Lira masih berceloteh, masih tertawa. Tapi tawa itu…

entah milik siapa.


Arga mendengarkan. Mengangguk. Ikut tertawa. Tapi dalam hati, ada bagian dari dirinya yang terus-menerus berbisik:

"Itu bukan lagi untukmu."


Pernah suatu malam, mereka duduk di atas motor, berhenti di tepi jalan dengan lampu-lampu temaram. Arga memandang langit gelap, sedangkan Lira sibuk dengan ponselnya.


"Abang sayang sama adek," ucap Arga pelan.


Lira diam, hanya mengangkat kepalanya sebentar dan tersenyum, seperti sedang mengiyakan karena merasa wajib bukan karena merasa cinta.


Dan saat itulah Arga benar-benar tahu.

Cinta tidak pernah hilang dalam sekejap.

Tapi bisa mati pelan-pelan… kalau yang satu berhenti memupuk.


Beberapa hari kemudian, Lira mulai sering absen dari pertemuan mereka. Kadang bilang sakit. Kadang sibuk. Kadang tak membalas pesan sampai larut malam. Tapi saat Arga melihat status Facebook keduanya yang masih aktif, dan melihat foto-foto Lira bersama perempuan itu lagi, semuanya jadi jelas.


Bahkan Lira tak lagi menyembunyikan kedekatannya. Postingan itu seperti tanda bahwa Arga bukan lagi satu-satunya. Mungkin bukan siapa-siapa lagi.


Namun Arga tak bertanya.


Ia tetap menjemput saat Lira bersedia. Tetap membelikan makanan yang ia suka. Tetap menggenggam tangan Lira saat mereka duduk diam di taman. Tapi semua itu seperti menggenggam angin tak pernah benar-benar bisa dimiliki.


Lira tetap di situ secara fisik. Tapi hatinya… sudah jauh. Sudah pergi.


Dan pada suatu sore, ketika mereka berjalan di tepi danau kecil, Lira akhirnya berkata,


“Bang, kenapa kita kayak gini ya? Ngerasa deket, tapi… juga jauh.”


Arga memandang Lira lama.


“Karena yang deket cuma tubuh kita. Tapi hati kamu, udah pergi duluan.”Beberapa hari setelah Lira kembali, semuanya terasa makin aneh. Pelukan mereka tidak hangat, genggaman tangan itu sering lepas di tengah jalan, dan setiap tawa terasa seperti sedang menutupi sesuatu yang sedang patah perlahan.


Sampai suatu sore yang mendung, Lira mengajak Arga ke sebuah tempat yang sering mereka datangi sebuah bukit kecil di pinggir kota, tempat melihat lampu-lampu rumah dan langit yang terbuka luas. Tempat itu adalah surga kecil mereka. Tempat mereka berandai masa depan, tempat mereka menatap bintang sambil saling menggenggam harapan.


Hari itu, Arga menyetir motor pelan, Lira duduk di belakangnya, memeluk dari jauh tanpa sungguh-sungguh merapat.


Sesampainya di sana, mereka duduk di atas batu besar, angin dingin berembus pelan, senja sudah lewat. Kota di bawah bukit menyala, tapi hati mereka tetap gelap.


Lira memandangi langit lalu berbisik,


“Bang… adek mau jujur…”


Arga menoleh pelan, tanpa ekspresi. Ia tahu, kata-kata itu bukan pertanda baik.


“Adek sayang sama seseorang…”


Jantung Arga berdetak cepat. Tapi ia tetap diam, membiarkan Lira melanjutkan.


“Tapi… adek juga sayang sama abang. Adek bingung, bang… Adek gak ngerti kenapa bisa kayak gini…”


Lira menunduk, menyembunyikan air mata yang tak bisa dia tahan lagi.


Arga menatapnya lama, lalu menjawab pelan,


“Abang udah tahu….”


Suasana jadi hening. Tak ada suara selain desir angin. Lira tidak membantah, tidak juga mengelak. Ia hanya diam, seperti mengiyakan segalanya.


Lalu Arga bertanya,


“Adek… sayang sama Dia?”


Lira menahan napas sejenak, lalu mengangguk pelan.


Arga menarik napas dalam-dalam.


“Adek… sayang sama abang?”



Lira menatap Arga. Kali ini matanya penuh luka. Ia mengangguk lagi.


“Sayang, bang…”


Lalu diam.


Sunyi.

Dingin.

Waktu seperti membeku di antara mereka.


Arga menatap kota di bawah, lalu berkata,


“Kalau Adek mau bersama dia… abang gak akan larang. Abang tetap sayang sama Adek. Dan abang gak akan ninggalin Adek…”


Lira menutup wajahnya, menangis pelan.


Tapi Arga tidak menangis. Tidak lagi.

Karena ini cinta. 


Malam itu, mereka turun bukit tanpa kata-kata lagi.

Mungkin cinta mereka belum benar-benar berakhir.



Bab 8: Diam


Langit sore itu tak berwarna. Seperti hati Arga yang sejak pagi terasa berat tak tahu kenapa, tapi cukup untuk membuat napasnya sesak.


Ia tahu, semuanya mendekati ujung. Tapi ia terus menunda. Menutup mata. Menyumbat telinga. Seolah selama Lira masih bersamanya secara fisik, maka cinta itu belum pergi. Tapi hatinya tahu: Lira sudah tak lagi di sini. Ia telah jauh. Sejak lama.


Lira duduk di bangku taman kecil tempat biasa mereka bertemu. Rambutnya diikat sederhana. Matanya tak memandang Arga ketika pemuda itu datang. Tak ada senyum. Tak ada tanya, “Udah makan, Bang?” seperti biasanya.


Arga duduk di sebelahnya, pelan.


Hening.


Dedaunan berguguran di sekitar mereka, jatuh perlahan seperti perasaan yang tak lagi bisa dipertahankan.


Lira memulai lebih dulu. Suaranya nyaris berbisik.


“Adek minta maaf, Bang…”


Arga menoleh, pelan. Tapi tak menjawab.


“Adek masih sayang abang… tapi adek juga sayang dia. Dan setelah semua ini, adek sadar... yang adek mau... dia.”


Deg.


Jantung Arga seperti dihantam palu. Tapi ia tetap diam. Ia menggenggam erat tangannya sendiri. Matanya menatap jauh, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar.


Lira melanjutkan, suaranya mulai bergetar.


“Adek nggak bisa pura-pura lagi, Bang. Ini nggak adil buat abang… buat adek juga.”



Arga perlahan berdiri. Lalu membuka tas kecil yang selalu ia bawa. Mengambil sesuatu… sebuah silet kecil. Benda yang seharusnya tak punya tempat dalam percakapan cinta. Tapi di hari itu, dalam diam yang menyiksa, benda itu seolah menjadi satu-satunya cara untuk menunjukkan rasa yang tak bisa diucapkan.


Tanpa berkata apa-apa, Arga meletakkan tangan kirinya di atas pahanya. Pandangannya lurus ke depan. Wajahnya datar, tapi matanya basah.


Sret.


Satu goresan. Darah mulai merembes.


Lira terkejut, tapi diam. Mulutnya terbuka seakan ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar.


Sret.


Goresan kedua. Lebih dalam.


Air mata mulai turun dari mata Arga. Tapi tetap tak ada suara.


Sret.


Goresan ketiga. Tangan Arga kini gemetar. Tapi ia tetap diam. Tak menatap Lira. Tak memohon. Hanya luka dan diam yang bicara.


Lira berdiri. Matanya panik. Ia mencoba memegang tangan Arga,


“Abang kenapa… kenapa ngelakuin ini…?” suara Lira nyaris pecah.


Arga hanya menggeleng.


“Abang… jangan kayak gini. Ini bukan salah siapa-siapa…”


Baru kali ini Arga bicara, pelan,seperti suara yang tinggal sisa dari hatinya yang sudah retak.


“Abang sayang sama adek...”



Lira menangis. Tapi bahkan air matanya tak lagi menyentuh Arga.


“Tapi adek tetap milih dia, Bang… Maaf… Tapi hati aku udah nggak bisa lagi bohong.”


Kata-kata itu menghantam lebih dalam dari silet mana pun.


Arga mengangguk. Ia meraih tisu dari sakunya, menekan perlahan lukanya. Lalu berdiri.


“Terima kasih… udah jujur.”




Lira mencoba memeluk, tapi Arga mundur. Cukup. Ia sudah terlalu rapuh untuk disentuh, apalagi oleh tangan yang tak lagi ingin tinggal.


“Jaga diri baik-baik, Dek. Kalau dia yang kamu pilih… pastikan dia nggak pernah bikin kamu sesakit ini.”



Dan dengan langkah goyah, Arga berjalan pergi. Meninggalkan taman itu, meninggalkan cinta itu, meninggalkan dirinya yang dulu.


Lira berdiri sendiri di sana. Air matanya jatuh, tapi ia tak mengejar. Karena pada akhirnya, ia sudah memilih.


Dan pilihan itu… bukan Arga.


---


Bab 9: Yang Tak Terucap


Sudah tujuh hari berlalu sejak Lira berkata.


“Adek pilih dia. Maaf.”



Tak ada lagi kata-kata setelahnya. Tak ada penjelasan. Tak ada alasan.


Dan sejak hari itu, Lira menghilang dari hidup Arga seperti embun yang lenyap sebelum matahari naik. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah benar-benar berakhir karena setiap pagi, Arga terbangun dengan kenyataan bahwa Lira memang benar-benar sudah pergi.


Awalnya, Arga berusaha kuat. Ia mencoba menjauh. Ia berhenti menghubungi Lira, menghapus foto-foto mereka dari galeri ponselnya. Ia menutup semua akses menuju kenangan, seolah dengan begitu ia bisa bebas dari rasa sakit.


Namun ia salah.


Karena cinta yang besar… tidak bisa dikubur hanya dengan diam.


Setiap malam, rasa rindu menghantui. Mengendap di dada, menusuk hingga napas terasa sempit. Ia merindukan suara Lira, tawa kecilnya, bahkan cara Lira marah yang kekanak-kanakan.


Dan pada malam ketujuh itu, saat duduk sendirian di warung kopi pojok jalan, Arga menyadari satu hal:

Ia tak sanggup melupakan Lira.


Maka keesokan harinya, untuk pertama kalinya sejak perpisahan itu, Arga memutuskan untuk kembali. Ia ingin mencoba sekali lagi. Untuk terakhir kalinya. Bukan untuk memaksa Lira kembali, tapi untuk menunjukkan bahwa hatinya belum berubah.

---


Setelah  itu, Arga mulai datang ke depan sekolah Lira.


Setiap sore, saat jam pulang sekolah, ia menepi dengan motornya di seberang gerbang. Duduk diam, menatap ke arah kerumunan siswa yang keluar satu per satu.


Namun tak sekalipun Arga melihat Lira.


Atau mungkin Lira sengaja bersembunyi. Mungkin ia tahu Arga ada di sana. Mungkin ia memilih jalan keluar yang lain. Mungkin… memang tak ingin bertemu lagi.


Tapi Arga tetap datang. Hari demi hari.

Seminggu. Dua minggu. Tiga minggu.


Hujan turun, kadang deras. Panas menyengat, kadang kejam. Tapi Arga tetap di sana. Duduk di atas motornya, dengan mata yang hanya mencari satu sosok. Ia menunggu. Menunggu dan terus menunggu.


Bukan karena ia bodoh.


Tapi karena ia masih cinta.


Kadang, sambil menunggu, ia menulis puisi di buku kecilnya. Tentang rindu. Tentang kenangan. Tentang seseorang yang masih tinggal dalam hatinya, meski sudah pergi dari hidupnya.


“Aku tidak menunggumu untuk kembali,

aku hanya ingin kau tahu,

bahwa di antara banyak yang menyerah,

aku adalah yang tetap memilih bertahan.”



Dan saat hari ke-30 tiba, saat sebulan penuh penantian itu menjadi nyata, Arga tahu… hatinya tak bisa hanya menunggu lagi.


Ia harus melihat Lira. Sekali saja. Untuk menutup luka ini dengan mata terbuka.


Sore itu, Arga datang ke rumah Lira.


Rumah itu masih sama. Cat dinding biru muda yang mulai pudar. Pot-pot bunga yang berjajar rapi di teras. Gorden tipis yang dulu sering Lira geser sambil menyambut kedatangannya.


Ia berdiri lama di depan pintu. Degup jantungnya seperti palu godam. Tangan kanannya gemetar saat mengetuk pintu itu.


Tak lama, tirai jendela bergeser. Sosok yang paling ia rindukan muncul. Wajah yang selalu hadir dalam mimpinya.


Lira keluar.


Ia tak berkata apa-apa saat pertama kali melihat Arga. Hanya diam, dengan tatapan datar.


"Ngapain ke sini?" tanyanya, suara pelan tapi penuh jarak.


Arga menatapnya dalam-dalam. Ingin bicara, tapi suaranya tertahan. Ia menelan ludah, menahan semua kata yang seharusnya ia ucapkan sejak lama.


"Abang cuma… pengen lihat adek. Sekali aja," katanya pelan.


Lira menghela napas. Matanya sempat berkaca-kaca, tapi ia menunduk, menyembunyikannya.


"Abang… tolong ya. Jangan datang lagi. Jangan ganggu aku lagi..."


Kalimat itu tak diucapkan dengan marah. Tapi juga bukan dengan lembut. Kalimat itu seperti palu terakhir yang menghantam fondasi hati Arga yang sudah retak.


Arga terdiam. Tak mampu berkata apa-apa. Hanya menunduk, lalu mengangguk pelan.


“Kalau itu yang adek mau… abang pergi.”


Dan Lira… menutup pintu.

---


Malam itu, Arga kembali ke taman kecil tempat biasa ia dan Lira duduk berdua. Lampu taman menyala redup. Angin malam membelai pelan rambutnya yang kusut.


Ia membuka buku kecilnya, menulis pelan:


"Hari ini, aku tidak kehilangan kamu.

Aku kehilangan diriku…

yang hanya hidup saat bersama kamu."


Ia teringat segalanya.

Saat mereka boncengan motor dan Lira menyanyi lagu mellow sambil nyender di punggungnya.

Saat mereka makan nasi goreng di emperan toko sambil cerita masa kecil.

Saat Lira menangis di pangkuannya, hanya ingin dipeluk.

Saat mereka tertawa saat hujan turun dan Arga salah masuk gang.

Saat-saat kecil yang kini jadi serpihan kenangan paling menyakitkan.


Lira bukan hanya kekasih.

Lira adalah rumah.

Adalah tempat pulang dari segala luka dunia.


Dan sekarang, rumah itu sudah dihuni orang lain.


---


Di penghujung malam, Arga menulis satu surat terakhir. Bukan untuk dikirim. Tapi untuk dirinya sendiri. Untuk menyudahi semua yang tak pernah selesai.


Untuk Lira,


Kalau kamu lagi duduk sendiri, dan tiba-tiba inget aku,

tolong jangan buru-buru lupakan.

Karena pernah, ada satu laki-laki

yang mencintai kamu lebih dari dirinya sendiri.


Aku nggak akan ganggu kamu lagi.

Tapi kalau kamu butuh bahu,

kamu tahu harus cari siapa.


Karena cinta ini,

meskipun nggak lagi punya tempat pulang,

tetap memilih untuk tinggal.


Dari aku,

yang masih nyebut namamu dalam setiap doa.


---


Dan malam itu, Arga menatap langit untuk terakhir kalinya…

dengan satu kalimat yang akhirnya bisa ia ucapkan dengan ikhlas:


“Kalau kamu bahagia,…aku juga bahagia.”


---


Bab 10: Tentang Mu


Tentang kamu...


Mungkin sudah terlalu banyak malam yang kulewati hanya untuk menyusun keberanian menuliskan ini.

Bukan karena aku tak tahu harus mulai dari mana, tapi karena aku tak yakin hatiku cukup kuat untuk mengingatmu sedalam ini, untuk terakhir kalinya.


Tapi hari ini…

Aku memilih untuk menuliskannya. Bukan untukmu, tapi untukku.

Agar semua rasa yang kupendam, semua luka yang kupeluk, punya tempat untuk pulang.


---


Kamu.

Adalah nama yang masih kusebut paling pelan dalam doa,

dan paling nyaring dalam tangis.


Kamu adalah seseorang yang dulu aku jaga dengan sepenuh jiwa.

Yang aku lindungi dari sepi, dari takut, dari dunia yang kadang terlalu kejam.

Seseorang yang aku temani setiap malam saat ia merasa tak berharga.

Seseorang yang aku peluk erat sambil bilang, “Kamu cukup. Kamu indah. Kamu pantas dicintai.”


Dan kamu… adalah satu-satunya yang aku pilih untuk tetap aku perjuangkan, bahkan saat semua orang bilang aku bodoh.


---


Aku masih ingat semua hal tentangmu, Lira.


Suara tawa kecilmu saat aku bercerita hal yang sama berkali-kali.

Tatapan matamu saat kamu pura-pura marah tapi sebenarnya manja.

Cara kamu meletakkan kepala di pundakku sambil bergumam, “Abang jangan tinggalin aku ya…”


Lucu ya?

Karena akhirnya… justru kamu yang pergi lebih dulu.


---


Setiap malam, aku masih tidur dengan kenangan tentangmu.

Masih membayangkan kamu ada di sampingku, menyelimutiku dengan tanganmu yang kecil.

Masih berharap kamu tiba-tiba mengetuk pintu dan bilang,

“Aku pulang.”


Tapi kamu nggak pernah pulang.

Dan aku… masih berdiri di ambang pintu, membawa cinta yang tak punya tujuan.


---


Dulu aku pikir, cinta sejati akan selalu menang.

Aku pikir, selama aku setia, selama aku sabar, semuanya akan baik-baik saja.


Tapi ternyata, tidak semua cinta yang dalam bisa bertahan.

Dan tidak semua yang kita jaga, ingin tetap tinggal.


Kamu memilih pergi, Lira.


Kamu memilih perempuan itu, dan meninggalkan semua yang telah kita bangun bersama.

Semua janji, semua mimpi, semua malam-malam panjang yang kita lalui sambil saling meyakinkan bahwa kita akan baik-baik saja.


Aku tidak marah.


Aku hanya... kecewa.


Karena kamu tahu, dari semua orang di dunia ini,

aku satu-satunya yang tidak pernah meninggalkanmu.


---


Pernah ada malam, aku menyayat punggung tanganku dengan silet.

Tiga garis panjang. Tiga bukti bahwa luka yang tak terlihat, kadang jauh lebih menyakitkan dari yang tampak.

Aku tidak ingin mati malam itu.

Aku hanya ingin kamu tahu…

betapa hancurnya aku saat kehilanganmu.


Tapi kamu tak pernah tahu.

Karena kamu tak pernah bertanya.

Kamu tak pernah benar-benar melihat ke belakang.

Dan aku? Aku tetap di tempat yang sama… memanggil namamu dalam diam.


---


Lira…


Kalau kamu baca ini suatu hari nanti,

aku ingin kamu tahu satu hal:


Aku tidak baik-baik saja setelah kamu pergi.

Tapi aku tidak menyesal pernah mencintaimu.



Aku bersyukur pernah mengenalmu.

Pernah mencium keningmu.

Pernah tidur di pangkuanmu sambil kamu elus rambutku pelan.

Pernah mendengar kamu bilang,

“Kalau aku kehilangan abang, aku nggak tahu harus gimana.”


Dan kamu benar.

Setelah kehilanganmu, aku juga nggak tahu harus gimana.



---


Aku sering membayangkan kita tua bersama.


Kamu dengan keriput di sudut matamu, aku dengan tangan yang tak lagi sekuat dulu.

Kita duduk di beranda rumah kecil, sambil mengenang hari-hari kita waktu muda.

Kamu akan tertawa kecil, dan aku akan bilang,

“Lihat kan? Janji abang untuk tetap tinggal, gak pernah berubah.”


Tapi sekarang aku tahu…

Itu cuma mimpi yang tak pernah punya takdir untuk jadi nyata.


---


Aku menulis ini bukan untuk membuatmu kembali.

Aku tahu, tempatmu bukan di sini lagi.


Aku menulis ini hanya agar kamu tahu…


Bahwa pernah ada laki-laki yang mencintaimu dengan cara yang tak akan kamu temui di tempat lain.

Yang mencintaimu dengan doa, dengan sabar, dengan diam,

bahkan saat hatinya kau hancurkan berkali-kali.


---


Tentangmu…


Akan selalu jadi bagian dari diriku yang tak akan pernah hilang.

Meskipun waktu menghapus ingatan,

meskipun aku mencintai seseorang lain suatu hari nanti,

nama kamu…

akan tetap menjadi ruang kecil yang tak pernah kukunci.


Karena kamu, Lira,

adalah cinta pertama yang paling benar,

meskipun akhirnya tidak menjadi yang terakhir.


---


Dan kalau suatu hari, kamu merasa rindu,

kamu merasa lelah, kamu merasa dunia tak adil…


Ingatlah…


Pernah ada aku,

yang mencintaimu lebih dari hidupku sendiri.


---


“Terima kasih, ya, Lira…

Sudah datang, walau akhirnya pergi.

Sudah membuatku bahagia, walau akhirnya hancur.

Sudah mengajarkanku arti mencintai, walau aku harus belajar merelakan.”

---


Epilog: Yang Tertinggal

Waktu telah berjalan.
Hari-hari telah lewat.
Dan aku masih di sini, hidup.

Mungkin itu kalimat paling jujur yang bisa aku katakan hari ini.
Bahwa aku masih bernapas. Masih bangun setiap pagi.
Masih membuka mata dengan rasa kosong yang perlahan-lahan mulai bisa kuterima.

Sudah berbulan-bulan sejak aku melihat wajahmu terakhir kali.
Sudah lama sejak suara “abang” keluar dari mulutmu.
Dan perlahan, aku belajar…
Bukan untuk melupakan, tapi untuk berdamai.


---

Ada yang tidak akan pernah kembali,
dan itu bukan hanya kamu.

Tapi versi diriku yang dulu mencintaimu tanpa takut,
yang percaya bahwa cinta bisa menyelamatkan segalanya.
Versi diriku yang rela menunggu, meski tahu tidak akan dijemput.
Versi diriku yang merelakan lukanya, asalkan kamu tetap tinggal.

Versi itu… telah mati.
Pelan-pelan. Sunyi. Dalam sepi yang tidak kamu lihat.


Sekarang aku berjalan sendiri.
Masih menyimpan beberapa kenangan kecil selembar foto, tiket bioskop yang kusimpan dalam dompet, dan catatan kecil yang pernah kamu selipkan di saku kemejaku:

“Jangan pernah tinggalkan aku, ya…”



Kamu yang pergi.
Dan ironisnya, aku yang diminta jangan pergi duluan.

Lucu ya, Lira?
Dunia ternyata tidak selalu adil pada yang tulus.




Tapi aku tidak lagi menangis.
Tidak setiap malam, seperti dulu.
Tangisku kini berubah menjadi doa.
Rinduku kini berubah menjadi diam.
Dan cintaku…
Tetap tinggal.
Meski kini tak lagi punya siapa-siapa untuk dipeluk.



Pernah ada satu pagi yang berbeda.
Aku duduk di taman, melihat sepasang kekasih tertawa di bangku sebelah.
Dan entah kenapa, hatiku tidak sakit lagi.
Ada rasa hangat yang muncul…
Bukan karena aku sudah melupakanmu,
tapi karena aku mulai bisa mengikhlaskan.

Mereka tidak tahu…
bahwa hanya beberapa langkah dari tempat mereka duduk,
ada seseorang yang dulu pernah mencintai sekuat itu.
Dan kini hanya menyaksikan.
Dari jauh.
Dengan senyum paling pahit yang pernah kubentuk.



Yang tertinggal dari kita…
Bukan kamu.
Bukan aku.
Tapi cinta itu sendiri.

Cinta yang pernah sangat hidup,
sangat bernyawa,
dan kini hanya jadi cerita…
yang tak bisa aku ulang,
tapi juga tak bisa aku buang.



Aku tidak tahu di mana kamu sekarang.
Mungkin sedang bahagia bersama orang yang kamu pilih.
Mungkin sedang tertawa, tanpa tahu aku masih menyebut namamu diam-diam.
Atau mungkin… kamu juga sedang membaca ini.
Dan matamu sedikit basah.

Kalau iya,
aku hanya ingin bilang:

“Kamu tetap sesuatu yang paling indah yang pernah aku miliki,
meski tidak bisa aku genggam lagi.”




Dan untuk diriku sendiri…
Terima kasih karena sudah bertahan.
Karena sudah tidak lagi memohon.
Karena sudah belajar bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya.

Cinta yang tak bisa dimiliki,
tetap layak dihargai.

Dan kamu, Lira,
akan selalu menjadi kisah terbaik dalam hidupku. 


Yang tertinggal dari cinta ini,
adalah aku, yang tetap mencintaimu,
dalam diam, dalam doa,
dalam segala hal yang tak bisa lagi disampaikan.



---


Surat Terakhir dari Arga

Lira…

Maaf kalau surat ini tiba-tiba muncul di hidupmu yang mungkin sudah tenang.
Maaf kalau aku masih menyebut namamu,
saat kamu mungkin sudah tak lagi menyebut namaku bahkan dalam pikiranmu.

Tapi malam ini,
di antara sepi dan sunyi yang tak pernah absen,
aku hanya ingin menulis…
sekali lagi.
Untuk kamu.
Yang tak pernah benar-benar hilang dari hatiku.



Aku nggak tahu harus mulai dari mana.
Karena segala tentangmu terlalu banyak untuk diceritakan,
terlalu dalam untuk disinggung,
dan terlalu sakit untuk dikenang.

Tapi aku tahu,
kamu adalah bagian dari hidupku yang paling indah,
sekaligus paling menyakitkan.


Aku ingat segalanya, Lira.

Cara kamu tertawa waktu aku nyanyi fals di atas motor.
Cara kamu marah-marah karena aku telat balas chat, tapi ujung-ujungnya bilang rindu.
Cara kamu peluk aku dari belakang, sambil bilang,
"Abang jangan pernah lepas ya."

Dan aku tak pernah lepas, dek.
Bahkan sampai hari ini.


Banyak hal berubah, Lira.
Hidup berjalan, hari berganti,
orang-orang datang dan pergi…

Tapi ada satu hal yang tetap sama:
Rasa ini.
Yang tetap tinggal untukmu.

Mungkin kamu sudah berjalan jauh.
Sudah menemukan dunia baru.
Sudah bahagia dengan pilihan yang kamu anggap tepat.

Dan aku tidak apa-apa.

Bukan karena aku kuat,
tapi karena mencintaimu tidak pernah butuh alasan untuk bertahan.
Cukup karena kamu pernah ada… dan itu sudah lebih dari cukup untuk aku jaga.


Aku tahu kamu pernah terluka,
dan aku pernah menjadi tempat kamu berlindung.
Aku tahu kamu pernah takut kehilangan,
dan aku pernah jadi alasan kamu tersenyum di hari-hari beratmu.

Itu cukup buat aku simpan selamanya.
Sebagai bukti, bahwa aku pernah dicintai oleh perempuan paling aku jaga dalam hidup.


Aku menulis ini bukan karena aku belum bisa melangkah.
Tapi karena dalam setiap langkahku ke depan,
ada jejak kamu yang tetap menempel di dalamnya.

Aku bisa berjalan,
aku bisa hidup,
aku bisa tertawa lagi—
tapi aku tidak pernah benar-benar melepaskanmu.

Dan aku tidak mau.

Karena bagiku…
menjaga cinta diam-diam itu bukan kelemahan.
Itu bukti bahwa aku pernah sungguh-sungguh.


---

Kamu tak perlu kembali.
Kamu tak perlu merasa bersalah.
Kamu tak perlu bertanya apa aku baik-baik saja.

Karena bagaimanapun,
selama kamu bahagia…
aku akan tetap diam di sini,
menjadi satu-satunya orang yang mencintaimu tanpa syarat,
meski dari jauh.



Lira…

Kalau suatu hari nanti kamu sedang duduk sendiri,
dan dunia terasa sunyi,
ingatlah…
bahwa pernah ada aku,
yang mencintaimu lebih dari aku mencintai hidupku sendiri.

Dan meski kamu tak datang lagi,
meski kamu memilih jalan lain,
aku akan tetap ada di tempat yang sama—
di hati yang tak pernah pindah rumah.



Ini bukan surat perpisahan.
Karena tidak ada yang benar-benar pergi,
selama rasa itu masih tinggal.

Dan kamu…
akan selalu tinggal.

Dalam senyuman yang kadang muncul tanpa sebab,
dalam mimpi yang datang tanpa undangan,
dalam rindu yang bahkan tak tahu harus ditujukan ke mana.


Dari aku, Arga.
Yang akan tetap menyebut namamu,
meski hanya dalam diam.
Yang akan tetap menjagamu,
meski tanpa bisa menyentuh.
Yang akan tetap mencintaimu,
meski semesta tak lagi mengizinkan kita bersama.

Karena untuk beberapa cinta,
tak harus dimiliki untuk tetap abadi.


---







 
Copyright 2010 FREAK . All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Blogger Template